Sabtu, 20 Februari 2010

TRADISI MEGIBUNG DI KABUPATEN KARANGASEM-BALI

Oleh: I Made Swarika Aryanta
Pemuda Karangasem dari Kecamatan Manggis
1. Pendahuluan
Bali merupakan sebuah pulau yang sangat identik dengan upacara adat dan agama, hal ini mengindikasikan betapa eratnya kehidupan sosial-budaya di pulau ini. Dalam melaksanakan kegiatan upacara dapat dilihat rasa kebersamaan sangatlah diperlukan, agar apa yang menjadi tujuan awal dari kegiatan upacara dapat terwujud. Setiap kali melaksanakan kegiatan upacara tentunya akan menyita waktu yang cukup lama, bahkan sampai beberapa hari, dalam hal ini tidak hanya harus dilihat dari segi pelaksanaan upacara, sarana upakara, ataupun nilai skala dan niskala dari pelaksanaan upacara, akan tetapi juga perlu dicemati konsumsi daripada sekelompok orang yang melaksanakan upacara tersebut.
Di Bali kewajiban teruntuk orang yang mengadakan upacara haruslah menyediakan hidangan bagi orang-orang yang menyertai upacara tersebut, baik itu kerabatnya sendiri ataupun para undangan. Di daerah Karangasem terdapat sebuah tradisi khas yang terkait dengan konsumsi dalam kegiatan upacara tersebut, yang dikenal dengan istilah “megibung” atau makan bersama. Sejauh mana nilai sosial-budaya yang tercermin dalam kegiatan makan bersama tersebut dan bagaimana tradisi tersebut bertahan sampai saat ini merupakan suatu hal yang perlu dicermati secara arif dan bijaksana.

2. Pembahasan
Setelah usai kegiatan upacara, beberapa kelompok orang duduk bersila dan membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran terhidang gundukan nasi beserta lauk pauk di atas tempat khusus yang disediakan. Mereka makan sesuap demi sesuap dengan tertib. Acara makan diselingi obrolan-obrolan ringan. Inilah budaya makan ala Karangasem, Bali, yang disebut megibung.
Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, dan piodalan di Pura.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap, setelah nasi maka kemudian lauk yang pertama dituangkan adalah lauk yang sifatnya kering-kering dulu, seperti lawar, sate pusut dan sate nyuh sebagai makanan permulaan, setelah tahap makanan kering kemudian barulah makanan yang agak berlemak, seperti timbungan (sup), urutan, sate kablet. Tahapan tersebut dimaksudkan agar orang yang megibung tidak merasa cepat puas, sehingga bisa menikmati semua hidangan. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, timbungan (sup), ares (sup yang terbuat dari batang pisang batu yang muda yng berisi daging babi, ayam atau kuwir) urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urab.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat istilah balinya caratan. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.
Saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan apalagi kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Harus menunggu orang atau sela lain menyelesaikan makannya. Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga. Aturan megibung di setiap tempat di Karangasem biasanya berbeda-beda sesuai desa (wilayah), kala (waktu), patra (kondisi) setempat.
Biasanya setiap usai acara megibung selalu ada makanan sisa. Dulu, makanan sisa ini dikumpulkan oleh para fakir miskin yang berasal dari daerah-daerah tandus dan miskin di Karangasem. Sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mau mengumpulkan makanan sisa megibung. Biasanya makanan sisa tersebut diberikan kepada tetangga untuk makanan babi.
Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi bhoga (hidangan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.
Orang-orang yang tidak terbiasa megibung atau yang fanatik dengan kasta akan susah mengikuti acara makan ini jika kebetulan diundang menghadiri upacara adat atau agama.
Lalu, bagaimana jika ada orang yang berpenyakit menular atau orang yang dianggap bisa ngiwe (dukun ilmu hitam) ikut megibung dalam satu sela? Dijelaskan bahwa prinsip megibung adalah kebersamaan dan tidak membeda-bedakan orang. Jadi orang-orang seperti itu sah-sah saja ikut megibung. Namun sekarang biasanya setiap sela diisi oleh orang-orang yang sudah saling mengenal.
Tradisi megibung tidak hanya dilakukan oleh orang Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa dan Tohpati, juga biasa menggelar acara megibung. Tentu lauk pauknya tidak menggunakan daging babi. Megibung dalam komunitas Muslim biasanya berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, Lebaran, Maulud Nabi dan acara-acara bernafaskan Islam lainnya. Mereka juga biasa mengundang tetangga-tetangga Hindu-Bali untuk ikut megibung.
Bahkan untuk melestarikan tradisi megibung, Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg, pernah menggelar acara megibung massal pada 26 Desember 2006 di Taman Sukasada, Ujung, Karangasem. Megibung massal yang tercatat dalam rekor MURI itu diikuti oleh 20.520 orang dari berbagai lapisan dan komponen masyarakat di wilayah Karangasem dan ratusan undangan Lainnya.
Siring dengan perjalanan waktu dalam kegiatan upacara adat ataupun agama di Karangasem tidak hanya menyediakan hidangan megibung bagi peserta upacara ataupun undangan tetapi juga makan prasmanan atau istilah yang lebih terkenal yaitu makan jalan. Hal ini dilandasi bahwa pergaulan masyarakat tidak sesempit masa dulu, sehingga orang yang mengadakan upacara tidak hanya mengundang kerabat-kerabat di Karangasem tapi juga keluar kabupaten ataupun keluar Bali. Kalau hidangan megibung dipaksakan teruntuk orang luar ada yang mau-mau saja bahkan tertarik dan senang, dan ada juga yang bengong saja karena tidak biasa istilah Balinya “kilang-kileng”. Terlebih lagi bila mengundang pejabat setempat ataupun pemuka adat serta agama akan lebih etis bila mereka di suguhi hidangan prasmanan.
Akan tetapi makanan prasmanan tidak hanya disantap para undangan dari luar tidak menutup kemungkinan orang setempat tidak memilih untuk megibung, sehingga malah menikmati prasmanan. Hal-hal yang mempengaruhi mereka enggan untuk megibung mungkin dikarenakan tidak mendapat orang yang tepat untuk diajak megibung, vegetarian, atau takut mendapat celaka “keracunan”, karena megibung juga dipakai media untuk menerapkan ajaran penesti atau ilmu untuk mencelakai orang secara halus.

3. Kesimpulan
Sesui dengan uraian yang dipaparkan secara sederhana maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan upacara adat ataupun agama di Karangasem kegiatan makan bersama atau megibung adalah merupakan tradisi khas dari daerah tersebut yang berlandaskan pada nilai kebersamaan masyarakat setempat. Dalam megibung terdapat aturan-aturan tidak tertulis yang sangat ketat yang wajib dipatuhi, aturan-aturan tersebut menyesuaikan dengan desa, kala, patra di masing-masing daerah di Karangasem.
Sesuai dengan perubahan sosial-budaya masyarakat karangasem maka dilakukan perubahan-perubahan terhadap tradisi megibung yakni perubahan pada sarana untuk megibung yang kini disesuaikan dengan keadaan masa kini yang lebih modern yang menuntut hal yang lebih higienis, seperti dulang yang diganti dengan nampan “nare” , dan “caratan” kendi tempat air yang kini memakai alat dari plastik atau minum air kemasan.
Sebagai bentuk permakluman dari penyelenggara upacara kepada undangan dari luar Karangasem, maka disediakan hidangan prasmanan, sehingga para undangan dari luar Karangasem dapat memilih, apakah mencoba mengikikuti tradisi megibung ataupun menyantap hidangan prasmanan yang sudah sediakan.
Oleh karena terjadi perubahan pola pikir masyarakat karangasem, dimana mulai muncul rasa enggan untuk menjalankan tradisi khas megibung, dikarenakan rasa takut pada diri sendiri, perselisihan yang dilandasi iri dan dengki, dan kefanatikan sekelompok orang karena perbedaan kelas ataupun kasta, maka perlu dicermati kembali nilai sosial-budaya dari tradisi megibung yakni perwujudan rasa kebersamaan masyarakat yang diharapkan menjaga eksisitensi Karangasem, dan Bali pada umumnya.

4. Sumber

http://muri-rekor.blogspot.com/2007/makan Bersama (Megibung) Dengan Peserta Terbanyak
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/08/28/11005853/mamukur.dan.megibung.di.bali
Sunarta,Wayan.Megibung:Tradisi Makan Bersama penuh Aturan ketat.Internet: http://www.balebengong.net., 9 Nopember 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar