Jumat, 05 Maret 2010

BUDAYA KONSUMERISME

Sekilas Tentang Definisi Kebudayaan
Dalam perkembangan ilmu-ilmu budaya dan humaniora, C.A. van Peursen meninjau pergeseran-pergeseran arti kebudayaan yang menyangkut maksud kata dan isi konsep. Dari segi maksud kata, dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, idiologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan tehnologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Sementara isi konsep kebudayaan dewasa ini telah bergeser dari kata benda menjadi kata kerja, di mana kebudayaan adalah kegiatan membuat alat, mendidik, berburu, tata upacara, dan lain-lain. Jadi kebudayaan dewasa ini dipahami sebagai kegiatan produktif, bukan (hasil) Produksinya. Hal ini juga menunjukkan pemahaman statis yang telah berubah menjadi pemahaman dinamis mengenai konsep kebudayaan.

Masyarakat ”POSMO”
Perkembangan teori kebudayaan dewasa ini telah sampai pada era postmodern (pascamodern Indonesia) namun masih menjadi suatu kontroversi dikalangan para ilmuan sosial dan humaniora, karena dianggap bahwa zaman modern atau modernisme belumlah usai.
Ciri kebudayaan dan masyarakat pascamodern yakni budaya dan media massa makin penting dan kuat pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, hidup ekonomi dan sosial lebih berputar di sekitar konsumsi simbol-simbol dan gaya hidup ketimbang produksi barang melalui kerja industri, tampilan-tampilan yang bergaya (stylistic) makin mengemuka, tata kota yang berbasis konsumsi mendominasi perkotaan, bukannya berpusat pada produksi ekonomi, melainkan pada dinamika jasa hiburan, kenikmatan, dan gaya hidup seperti mall, taman hiburan, dan pemukiman tematis.

”Konsumerisme ialah konsumsi yang mengada-ngada”
Masyarakat Konsumen.
Menurut Jean Baudrillard (Consumer Society), kehidupan masyarakat pada era ini tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model marxisme) melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikasinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya kode (the code).
Dalam era konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin umum dan meluasnya penataan ulang (reorganisasi) aneka macam kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda. Sistem tanda ini telah menjadi cara atau moda yang spesifik dalam transisi dari alam ke budaya (from nature to culture) di era ini. Mayarakat konsumen adalah masyarakat di mana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama. Dengan segala liturgi pemujaan objeknya, perilaku konsumen terfokus dan terorientasi pada objek dan penikmatan (enjoyment, jouissance). Walau demikian, konsumsi sendiri bukan fungsi turunan dari penikmatan, melainkan dari produksi.
Masyarakat konsumen berputar di sekitar simbol dan tanda, tak heran jika media massa, kenikmatan, dan seksualitas-sensualitas merupakan kata-kata kunci dalam segala jenis analisis sosial budaya masa kini.
Jika dahulu manusia punya dewa-dewi, roh nenek moyang atau alam semesta untuk disembah, kini manusia punya konsep tentang kemewahan yang oleh kalangan periklanan diperhalus sebagai well-being, kesejahteraan, dan kenyamanan. Dewa-dewi masyarakat konsumen dewasa ini adalah para selebriti yang tinggal di rumah mewah dan menghabiskan Rp100 juta per bulan untuk make-up kecantikan, para eksekutif yang naik mobil jaguar dan mengenakan busana mahal dan berkelas tinggi.
Sistem tanda baru dewasa ini seperti dikatakan Baudrillard, adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya, melainkan sebagai simbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri.
Lebih dari konsumsi yang memang kegiatan mendasar manusia, kita telah masuk dalam budaya yang baru yakni konsumerisme. Herry-Priyono mendefinisikan konsumerisme secara sangat ringkas dan jelas, konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ngada. Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosiopsikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya hidup.
Potret masyarakat konsumeristis nyata-nyata dapat ditemui pada masyarakat Jakarta. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan yang makin mirip dengan theme park seperti Disneyland. Seperti juga digambarkan Baudrillard (1998) sebagai fenomena drugstore di mana semua tersedia, mulai dari sembako, makanan, hiburan, salon kecantikan, hingga sarana olahraga, dan pentas kesenian. Memang mall sendiri bukan patogen, semua kemudahan dan tawaran di dalamnya menjadi tanah subur bagi gaya konsumeristis. Apalagi jika budaya konsumerisme telah masuk hingga melembaga dalam sistem politik. Menyimak anggaran belanja gubernur DKI Jakarta tahun 2003 yang menghabiskan Rp65 juta untuk pakaian dinas, Rp90 juta untuk jamuan kopi pagi, Rp150 juta untuk belanja alat rumah tangga, Rp350 juta untuk perjalanan dinas luar negeri, dan Rp887,7 juta untuk penyusunan pidato, tampaknya kebudayaan ini telah menjadi patologis di level politik.
Fenomena masyarakat konsumerisme dewasa ini telah sampai pada tataran menghawatirkan, maka perlulah kalangan akademis turun dari sinngasana netralitasnya dan bergelut dengan perjuangan untuk mengembalikan konsumsi menjadi hal alamiah yang tidak berlebih. Konsumerisme sebagai budaya masyarakat abad 21 ini adalah budaya merusak yang mau tidak mau harus dilawan dengan berbagai gerakan, dari gaya hidup individual yang anti konsumerisme hingga gerakan sosial-politis menentang pelembagaannya menjadi tindak korupsi.

Kesimpulan.
Dari uraian yang telah dibahas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kegiatan konsumsi yang berlebih-lebihan cenderung dipengaruhi oleh pergeseran fungsi dan kebutuhan yang terobjektivikasi dan termanipulasi demi laba. Seperti produksi yang terus- menerus, dan berlebih membutuhkan konsumsi yang setara. Hasilnya adalah konsumsi yang terus- menerus dan berlebih-lebihan pula.
Budaya konsumerisme yang mendorong kehidupan masyarakat yang ditujukan pada pemenuhan keinginan (penikmatan) dan bukan kebutuhan pokok menuntun masyarakat untuk bergaya hidup mewah. Menurut saya hal ini merupakan masalah yang sangat serius karena budaya konsumerisme yang tidak terkendali akan sangat berdampak buruk, misalkan munculnya berbagai penyakit masyarakat, saya secara pribadi sebagai generasi muda yang dapat mengamati tentang gejala konsumerisme ini akan mencoba menguraikan salah satunya.
(Kehidupan metropolis kota Jakarta yang cenderung konsumeristis mengakibatkan munculnya permasalahan tentang gaya hidup (lifestyle). Di daerah Jakarta tepatnya di sekitar jalan Mahakam, terjadi kegiatan prostitusi para remaja (siswa atau mahasiswa), tentunya dari kalangan menengah ke bawah, mereka dikenal dengan pecun (perek culun) mahakam atau ABG Blok M, yang melakoni kegiatan tersebut hanya untuk sekedar membeli keperluan fashion yang bermerek atau ingin nongkrong dan bergaul ditempat-tempat yang berkelas. Hal serupa juga terjadi di daerah lain, di sekitar alun-alun selatan kota Jojakarta ada juga prostitusi remaja dengan motif yang sama, yang dikenal dengan ciblek (wong cilik betah melek). Penyakit masyarakat yang seperti contoh tersebut mungkin masih banyak lagi terjadi di daerah-daerah lain bahkan mungkin juga terjadi di Bali.

Sumber.
Sutrisno, Mudji., dan Purwanto, Hendar. 2005. Teori-Teori Sosial Budaya. Dalam Adeline May Tumenggung (Ed.), Kebudayaan (para) Konsumen (halaman257-270). Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar