Jumat, 05 Maret 2010
BUDAYA KONSUMERISME
Dalam perkembangan ilmu-ilmu budaya dan humaniora, C.A. van Peursen meninjau pergeseran-pergeseran arti kebudayaan yang menyangkut maksud kata dan isi konsep. Dari segi maksud kata, dewasa ini kebudayaan diartikan sebagai perwujudan kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang yang berupaya mengolah dan mengubah alam sehingga membedakan dirinya dengan hewan. Kebudayaan adalah gejala manusiawi dari kegiatan berpikir (mitos, idiologi, dan ilmu), komunikasi (sistem masyarakat), kerja (ilmu alam dan tehnologi), dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih sederhana. Sementara isi konsep kebudayaan dewasa ini telah bergeser dari kata benda menjadi kata kerja, di mana kebudayaan adalah kegiatan membuat alat, mendidik, berburu, tata upacara, dan lain-lain. Jadi kebudayaan dewasa ini dipahami sebagai kegiatan produktif, bukan (hasil) Produksinya. Hal ini juga menunjukkan pemahaman statis yang telah berubah menjadi pemahaman dinamis mengenai konsep kebudayaan.
Masyarakat ”POSMO”
Perkembangan teori kebudayaan dewasa ini telah sampai pada era postmodern (pascamodern Indonesia) namun masih menjadi suatu kontroversi dikalangan para ilmuan sosial dan humaniora, karena dianggap bahwa zaman modern atau modernisme belumlah usai.
Ciri kebudayaan dan masyarakat pascamodern yakni budaya dan media massa makin penting dan kuat pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat, hidup ekonomi dan sosial lebih berputar di sekitar konsumsi simbol-simbol dan gaya hidup ketimbang produksi barang melalui kerja industri, tampilan-tampilan yang bergaya (stylistic) makin mengemuka, tata kota yang berbasis konsumsi mendominasi perkotaan, bukannya berpusat pada produksi ekonomi, melainkan pada dinamika jasa hiburan, kenikmatan, dan gaya hidup seperti mall, taman hiburan, dan pemukiman tematis.
”Konsumerisme ialah konsumsi yang mengada-ngada”
Masyarakat Konsumen.
Menurut Jean Baudrillard (Consumer Society), kehidupan masyarakat pada era ini tidak lagi didasarkan pada pertukaran barang materi yang berdaya guna (seperti model marxisme) melainkan pada komoditas sebagai tanda dan simbol yang signifikasinya sewenang-wenang (arbitrer) dan tergantung kesepakatan (conventional) dalam apa yang disebutnya kode (the code).
Dalam era konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin umum dan meluasnya penataan ulang (reorganisasi) aneka macam kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda. Sistem tanda ini telah menjadi cara atau moda yang spesifik dalam transisi dari alam ke budaya (from nature to culture) di era ini. Mayarakat konsumen adalah masyarakat di mana orang-orang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi sistem tanda bersama. Dengan segala liturgi pemujaan objeknya, perilaku konsumen terfokus dan terorientasi pada objek dan penikmatan (enjoyment, jouissance). Walau demikian, konsumsi sendiri bukan fungsi turunan dari penikmatan, melainkan dari produksi.
Masyarakat konsumen berputar di sekitar simbol dan tanda, tak heran jika media massa, kenikmatan, dan seksualitas-sensualitas merupakan kata-kata kunci dalam segala jenis analisis sosial budaya masa kini.
Jika dahulu manusia punya dewa-dewi, roh nenek moyang atau alam semesta untuk disembah, kini manusia punya konsep tentang kemewahan yang oleh kalangan periklanan diperhalus sebagai well-being, kesejahteraan, dan kenyamanan. Dewa-dewi masyarakat konsumen dewasa ini adalah para selebriti yang tinggal di rumah mewah dan menghabiskan Rp100 juta per bulan untuk make-up kecantikan, para eksekutif yang naik mobil jaguar dan mengenakan busana mahal dan berkelas tinggi.
Sistem tanda baru dewasa ini seperti dikatakan Baudrillard, adalah objek konsumsi, bukan sebagai benda itu sendiri sesuai daya gunanya, melainkan sebagai simbol status, identitas, dan pengangkat rasa percaya diri.
Lebih dari konsumsi yang memang kegiatan mendasar manusia, kita telah masuk dalam budaya yang baru yakni konsumerisme. Herry-Priyono mendefinisikan konsumerisme secara sangat ringkas dan jelas, konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ngada. Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosiopsikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan bahwa konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya hidup.
Potret masyarakat konsumeristis nyata-nyata dapat ditemui pada masyarakat Jakarta. Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan yang makin mirip dengan theme park seperti Disneyland. Seperti juga digambarkan Baudrillard (1998) sebagai fenomena drugstore di mana semua tersedia, mulai dari sembako, makanan, hiburan, salon kecantikan, hingga sarana olahraga, dan pentas kesenian. Memang mall sendiri bukan patogen, semua kemudahan dan tawaran di dalamnya menjadi tanah subur bagi gaya konsumeristis. Apalagi jika budaya konsumerisme telah masuk hingga melembaga dalam sistem politik. Menyimak anggaran belanja gubernur DKI Jakarta tahun 2003 yang menghabiskan Rp65 juta untuk pakaian dinas, Rp90 juta untuk jamuan kopi pagi, Rp150 juta untuk belanja alat rumah tangga, Rp350 juta untuk perjalanan dinas luar negeri, dan Rp887,7 juta untuk penyusunan pidato, tampaknya kebudayaan ini telah menjadi patologis di level politik.
Fenomena masyarakat konsumerisme dewasa ini telah sampai pada tataran menghawatirkan, maka perlulah kalangan akademis turun dari sinngasana netralitasnya dan bergelut dengan perjuangan untuk mengembalikan konsumsi menjadi hal alamiah yang tidak berlebih. Konsumerisme sebagai budaya masyarakat abad 21 ini adalah budaya merusak yang mau tidak mau harus dilawan dengan berbagai gerakan, dari gaya hidup individual yang anti konsumerisme hingga gerakan sosial-politis menentang pelembagaannya menjadi tindak korupsi.
Kesimpulan.
Dari uraian yang telah dibahas maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kegiatan konsumsi yang berlebih-lebihan cenderung dipengaruhi oleh pergeseran fungsi dan kebutuhan yang terobjektivikasi dan termanipulasi demi laba. Seperti produksi yang terus- menerus, dan berlebih membutuhkan konsumsi yang setara. Hasilnya adalah konsumsi yang terus- menerus dan berlebih-lebihan pula.
Budaya konsumerisme yang mendorong kehidupan masyarakat yang ditujukan pada pemenuhan keinginan (penikmatan) dan bukan kebutuhan pokok menuntun masyarakat untuk bergaya hidup mewah. Menurut saya hal ini merupakan masalah yang sangat serius karena budaya konsumerisme yang tidak terkendali akan sangat berdampak buruk, misalkan munculnya berbagai penyakit masyarakat, saya secara pribadi sebagai generasi muda yang dapat mengamati tentang gejala konsumerisme ini akan mencoba menguraikan salah satunya.
(Kehidupan metropolis kota Jakarta yang cenderung konsumeristis mengakibatkan munculnya permasalahan tentang gaya hidup (lifestyle). Di daerah Jakarta tepatnya di sekitar jalan Mahakam, terjadi kegiatan prostitusi para remaja (siswa atau mahasiswa), tentunya dari kalangan menengah ke bawah, mereka dikenal dengan pecun (perek culun) mahakam atau ABG Blok M, yang melakoni kegiatan tersebut hanya untuk sekedar membeli keperluan fashion yang bermerek atau ingin nongkrong dan bergaul ditempat-tempat yang berkelas. Hal serupa juga terjadi di daerah lain, di sekitar alun-alun selatan kota Jojakarta ada juga prostitusi remaja dengan motif yang sama, yang dikenal dengan ciblek (wong cilik betah melek). Penyakit masyarakat yang seperti contoh tersebut mungkin masih banyak lagi terjadi di daerah-daerah lain bahkan mungkin juga terjadi di Bali.
Sumber.
Sutrisno, Mudji., dan Purwanto, Hendar. 2005. Teori-Teori Sosial Budaya. Dalam Adeline May Tumenggung (Ed.), Kebudayaan (para) Konsumen (halaman257-270). Yogyakarta: Kanisius.
Sabtu, 20 Februari 2010
TRADISI MEGIBUNG DI KABUPATEN KARANGASEM-BALI
Pemuda Karangasem dari Kecamatan Manggis
1. Pendahuluan
Bali merupakan sebuah pulau yang sangat identik dengan upacara adat dan agama, hal ini mengindikasikan betapa eratnya kehidupan sosial-budaya di pulau ini. Dalam melaksanakan kegiatan upacara dapat dilihat rasa kebersamaan sangatlah diperlukan, agar apa yang menjadi tujuan awal dari kegiatan upacara dapat terwujud. Setiap kali melaksanakan kegiatan upacara tentunya akan menyita waktu yang cukup lama, bahkan sampai beberapa hari, dalam hal ini tidak hanya harus dilihat dari segi pelaksanaan upacara, sarana upakara, ataupun nilai skala dan niskala dari pelaksanaan upacara, akan tetapi juga perlu dicemati konsumsi daripada sekelompok orang yang melaksanakan upacara tersebut.
Di Bali kewajiban teruntuk orang yang mengadakan upacara haruslah menyediakan hidangan bagi orang-orang yang menyertai upacara tersebut, baik itu kerabatnya sendiri ataupun para undangan. Di daerah Karangasem terdapat sebuah tradisi khas yang terkait dengan konsumsi dalam kegiatan upacara tersebut, yang dikenal dengan istilah “megibung” atau makan bersama. Sejauh mana nilai sosial-budaya yang tercermin dalam kegiatan makan bersama tersebut dan bagaimana tradisi tersebut bertahan sampai saat ini merupakan suatu hal yang perlu dicermati secara arif dan bijaksana.
2. Pembahasan
Setelah usai kegiatan upacara, beberapa kelompok orang duduk bersila dan membentuk lingkaran. Di tengah lingkaran terhidang gundukan nasi beserta lauk pauk di atas tempat khusus yang disediakan. Mereka makan sesuap demi sesuap dengan tertib. Acara makan diselingi obrolan-obrolan ringan. Inilah budaya makan ala Karangasem, Bali, yang disebut megibung.
Tradisi megibung dimulai dari tahun 1614 Caka (atau 1692 Masehi), ketika salah satu Raja Karangasem, I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, berperang menaklukkan kerajaan-kerajaan di Sasak (Lombok). Di kala para prajurit istirahat makan, beliau membuat aturan makan bersama yang disebut megibung. Hingga saat ini tradisi megibung masih dilaksanakan di Karangasem dan Lombok, dan menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Kini, megibung sering digelar berkaitan dengan berbagai jenis upacara adat dan agama (Hindu), seperti upacara potong gigi, otonan anak, pernikahan, ngaben, pemelaspasan, dan piodalan di Pura.
Megibung penuh dengan tata nilai dan aturan yang khas. Dalam megibung, nasi dalam jumlah banyak ditaruh di atas dulang (alas makan dari tanah liat atau kayu) yang telah dilapisi tamas (anyaman daun kelapa). Namun sekarang acara megibung jarang menggunakan dulang, diganti dengan nampan atau wadah lain yang dialasi daun pisang atau kertas nasi. Gundukan nasi dalam porsi besar ditaruh di atas nampan dan lauk pauk ditaruh dalam wadah khusus. Orang-orang yang makan duduk bersila secara teratur dan membentuk lingkaran.
Satu porsi nasi gibungan (nasi dan lauk pauk) yang dinikmati oleh satu kelompok disebut satu sela. Pada jaman dulu satu sela harus dinikmati oleh delapan orang. Kini satu sela bisa dinikmati oleh kurang dari delapan orang, seperti 4-7 orang. Ketika makan, masing-masing orang dalam satu sela harus mengikuti aturan-aturan tidak tertulis yang telah disepakati bersama.
Megibung biasanya terdiri dari lebih dari satu sela, bahkan puluhan sela. Setiap sela dipimpin oleh pepara, orang yang dipercaya dan ditugasi menuangkan lauk-pauk di atas gundukan nasi secara bertahap, setelah nasi maka kemudian lauk yang pertama dituangkan adalah lauk yang sifatnya kering-kering dulu, seperti lawar, sate pusut dan sate nyuh sebagai makanan permulaan, setelah tahap makanan kering kemudian barulah makanan yang agak berlemak, seperti timbungan (sup), urutan, sate kablet. Tahapan tersebut dimaksudkan agar orang yang megibung tidak merasa cepat puas, sehingga bisa menikmati semua hidangan. Setiap satu sela biasanya mendapatkan lauk pauk dan sayuran yang terdiri dari pepesan daging, timbungan (sup), ares (sup yang terbuat dari batang pisang batu yang muda yng berisi daging babi, ayam atau kuwir) urutan (sosis), sate kablet (lemak), sate pusut (daging isi), sate nyuh (sate kelapa), sate asem (sate isi dan lemak), lawar merah dan putih, sayur daun belimbing, pademara, dan sayur urab.
Orang-orang yang megibung harus mengikuti tata tertib dan aturan makan yang ketat. Sebelum dimakan, nasi diambil dari nampan dengan cara dikepal memakai tangan. Kemudian dilanjutkan dengan mengambil daging dan lauk-pauk lainnya secara teratur. Sisa makanan dari mulut tidak boleh berceceran di atas nampan. Harus dibuang di atas sebidang kecil daun pisang yang telah disediakan untuk masing-masing orang. Air putih untuk minum disediakan di dalam kendi dari tanah liat istilah balinya caratan. Untuk satu sela disediakan dua kendi. Minum air dilakukan dengan nyeret, air diteguk dari ujung kendi sehingga bibir tidak menyentuh kendi. Untuk kepraktisan, kini air kendi diganti dengan air mineral kemasan. Di beberapa tempat, selesai megibung biasanya dilanjutkan dengan acara minum tuak.
Saat megibung tidak boleh bicara dan ketawa keras, berteriak-teriak, bersendawa, bersin, berdahak, meludah, dan apalagi kentut. Ketika selesai makan, orang tidak boleh sembarangan meninggalkan tempat. Harus menunggu orang atau sela lain menyelesaikan makannya. Ketika semua orang atau sela telah menyelesaikan makannya, maka pepara mempersilakan orang-orang meninggalkan tempat. Makan bersama ini harus diakhiri secara bersama-sama juga. Aturan megibung di setiap tempat di Karangasem biasanya berbeda-beda sesuai desa (wilayah), kala (waktu), patra (kondisi) setempat.
Biasanya setiap usai acara megibung selalu ada makanan sisa. Dulu, makanan sisa ini dikumpulkan oleh para fakir miskin yang berasal dari daerah-daerah tandus dan miskin di Karangasem. Sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mau mengumpulkan makanan sisa megibung. Biasanya makanan sisa tersebut diberikan kepada tetangga untuk makanan babi.
Megibung penuh dengan nilai-nilai kebersamaan. Dalam megibung secara umum tidak ada perbedaan jenis kelamin, kasta atau catur warna. Anggota satu sela, misalnya, bisa terdiri laki dan perempuan, atau campuran dari golongan brahmana, ksatrya, wasya dan sudra. Mereka bersama-sama menghadapi bhoga (hidangan) sebagai berkah Hyang Widhi. Nilai kebersamaan ini telah dicanangkan sejak jaman I Gusti Anglurah Ktut Karangasem, dan sudah menjadi tradisi hingga kini, baik di Karangasem maupun Lombok.
Orang-orang yang tidak terbiasa megibung atau yang fanatik dengan kasta akan susah mengikuti acara makan ini jika kebetulan diundang menghadiri upacara adat atau agama.
Lalu, bagaimana jika ada orang yang berpenyakit menular atau orang yang dianggap bisa ngiwe (dukun ilmu hitam) ikut megibung dalam satu sela? Dijelaskan bahwa prinsip megibung adalah kebersamaan dan tidak membeda-bedakan orang. Jadi orang-orang seperti itu sah-sah saja ikut megibung. Namun sekarang biasanya setiap sela diisi oleh orang-orang yang sudah saling mengenal.
Tradisi megibung tidak hanya dilakukan oleh orang Karangasem dan Lombok yang beragama Hindu. Komunitas Muslim di Karangasem, seperti Kecicang, Saren Jawa dan Tohpati, juga biasa menggelar acara megibung. Tentu lauk pauknya tidak menggunakan daging babi. Megibung dalam komunitas Muslim biasanya berkaitan dengan acara pernikahan, sunatan, Lebaran, Maulud Nabi dan acara-acara bernafaskan Islam lainnya. Mereka juga biasa mengundang tetangga-tetangga Hindu-Bali untuk ikut megibung.
Bahkan untuk melestarikan tradisi megibung, Bupati Karangasem, I Wayan Geredeg, pernah menggelar acara megibung massal pada 26 Desember 2006 di Taman Sukasada, Ujung, Karangasem. Megibung massal yang tercatat dalam rekor MURI itu diikuti oleh 20.520 orang dari berbagai lapisan dan komponen masyarakat di wilayah Karangasem dan ratusan undangan Lainnya.
Siring dengan perjalanan waktu dalam kegiatan upacara adat ataupun agama di Karangasem tidak hanya menyediakan hidangan megibung bagi peserta upacara ataupun undangan tetapi juga makan prasmanan atau istilah yang lebih terkenal yaitu makan jalan. Hal ini dilandasi bahwa pergaulan masyarakat tidak sesempit masa dulu, sehingga orang yang mengadakan upacara tidak hanya mengundang kerabat-kerabat di Karangasem tapi juga keluar kabupaten ataupun keluar Bali. Kalau hidangan megibung dipaksakan teruntuk orang luar ada yang mau-mau saja bahkan tertarik dan senang, dan ada juga yang bengong saja karena tidak biasa istilah Balinya “kilang-kileng”. Terlebih lagi bila mengundang pejabat setempat ataupun pemuka adat serta agama akan lebih etis bila mereka di suguhi hidangan prasmanan.
Akan tetapi makanan prasmanan tidak hanya disantap para undangan dari luar tidak menutup kemungkinan orang setempat tidak memilih untuk megibung, sehingga malah menikmati prasmanan. Hal-hal yang mempengaruhi mereka enggan untuk megibung mungkin dikarenakan tidak mendapat orang yang tepat untuk diajak megibung, vegetarian, atau takut mendapat celaka “keracunan”, karena megibung juga dipakai media untuk menerapkan ajaran penesti atau ilmu untuk mencelakai orang secara halus.
3. Kesimpulan
Sesui dengan uraian yang dipaparkan secara sederhana maka dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan upacara adat ataupun agama di Karangasem kegiatan makan bersama atau megibung adalah merupakan tradisi khas dari daerah tersebut yang berlandaskan pada nilai kebersamaan masyarakat setempat. Dalam megibung terdapat aturan-aturan tidak tertulis yang sangat ketat yang wajib dipatuhi, aturan-aturan tersebut menyesuaikan dengan desa, kala, patra di masing-masing daerah di Karangasem.
Sesuai dengan perubahan sosial-budaya masyarakat karangasem maka dilakukan perubahan-perubahan terhadap tradisi megibung yakni perubahan pada sarana untuk megibung yang kini disesuaikan dengan keadaan masa kini yang lebih modern yang menuntut hal yang lebih higienis, seperti dulang yang diganti dengan nampan “nare” , dan “caratan” kendi tempat air yang kini memakai alat dari plastik atau minum air kemasan.
Sebagai bentuk permakluman dari penyelenggara upacara kepada undangan dari luar Karangasem, maka disediakan hidangan prasmanan, sehingga para undangan dari luar Karangasem dapat memilih, apakah mencoba mengikikuti tradisi megibung ataupun menyantap hidangan prasmanan yang sudah sediakan.
Oleh karena terjadi perubahan pola pikir masyarakat karangasem, dimana mulai muncul rasa enggan untuk menjalankan tradisi khas megibung, dikarenakan rasa takut pada diri sendiri, perselisihan yang dilandasi iri dan dengki, dan kefanatikan sekelompok orang karena perbedaan kelas ataupun kasta, maka perlu dicermati kembali nilai sosial-budaya dari tradisi megibung yakni perwujudan rasa kebersamaan masyarakat yang diharapkan menjaga eksisitensi Karangasem, dan Bali pada umumnya.
4. Sumber
http://muri-rekor.blogspot.com/2007/makan Bersama (Megibung) Dengan Peserta Terbanyak
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/08/28/11005853/mamukur.dan.megibung.di.bali
Sunarta,Wayan.Megibung:Tradisi Makan Bersama penuh Aturan ketat.Internet: http://www.balebengong.net., 9 Nopember 2009.
Tari Pendet
KEHIDUPAN SOSIAL-BUDAYA MASYARAKAT
Universitas Slamet Riyadi Solo-Jawa Tengah
I Made Swarika Aryanta
NPM : 06.8.03.51.29.1.5.1072
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MAHASARASWATI
DENPASAR
2010
A. PENDAHULUAN
Bali adalah sebuah pulau di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu provinsi
Musik tradisional
Seni tari
Belakangan ini salah satu berita yang paling hangat di jagat berita
Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dicermati lebih dalam tentang bagaimanakah eksistensi kesenian tari pendet itu sendiri pada masyarakat Bali yang merupakan bentuk warisan budaya bangsa dalam menunjukkan karakteristik masyarakat
B. TARI PENDET
Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu
Tari Pendet merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura. Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pria dan wanita, dewasa maupun gadis. Tari pendet menggambarkan penyambutan atas turunnya Dewa-Dewi ke alam Marcapada. Tarian ini merupakan sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti tarian-tarian pertunjukan yang memerlukan pelatihan intensif, tarian ini diajarkan sekadar mengikuti gerakan.
Dalam jagat kepariwisataan
Kendati di tanah kelahiraannya tari Pendet agak jarang dipentaskan, di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tari berkarakter wanita ini masih populer di kalangan peminat tari Bali. Di Jakarta misalnya, tari Pendet dijadikan materi wajib dasar oleh sanggar-sanggar tari
Sumber inspirasi lahirnya tari Pendet adalah sebuah ritual sakral odalan di pura yang disebut mamendet atau mendet. Prosesi mendet berlangsung setelah pendeta mengumandangkan puja mantranya dan dan seusai pementasan topeng sidakarya; teater sakral yang secara filosofis melegitimasi upacara keagamaan. Hampir setiap pura besar hingga kecil di
Aktivitas mendet yang secara etimologis berasal dari mendak (menyambut) itu, penarinya tak selalu dipersiapkan secara khusus, umumnya dapat dibawakan oleh seluruh partisipan, pria-wanita tua dan muda. Ketika gamelan sudah melantunkan gending papendetan, mereka yang ingin ngayah mendet; menari secara tulus akan bergantian tampil di halaman suci pura, bisa secara solo, berpasangan, atau juga masal. Seorang kakek dapat dengan penuh semangat membawa sesajen dan bunga menari-nari improvisatoris berinteraksi dengan aksen-aksen gamelan. Seorang nenek renta tak dinyana tiba-tiba bangkit dengan lincahnya berlenggak lenggok dengan ekspresi nan lugu.
Lewat doa dan persembahan semerbak bunganya, tari Pendet telah merajut harmoni intra dan multikultural. Sebagai seni tari sub kebudayaan
C. SUMBER
http://id.wikipedia.org/wiki/Bali
http://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Pendet
Pendet Tergolong Tarian Tertua di Bali. Internet: http: www.antaranews.com/berita/22-8-2009., 28 Januari 2010
Suartaya, Kadek. 2009. Tari Pendet Menabur Doa Perdamaian. Internet: http://www.isi-dps.ac.id., 28 Januari 2010.
Wira. 2009. Tari Pendet
.